Freedom

Kurasa, selama kita masih ada di lingkup kehidupan sosial, The real freedom itu adalah hal yang mustahil untuk dicapai, mengingat aturan itu tercipta dimana-mana, ntah aturan tertulis ataupun tidak tertulis, ntah aturan terhadap sesama manusia, kepada negara, maupun aturan agama/kepercayaan.

Berbicara tentang aturan dan kebebasan, saya punya pengalaman jadi “anak punk”, jiwa muda yang merasa tidak ingin diatur, rindu kebebasan, dan ingin semaunya sendiri. Bukan, bukannya saya ingin sok-sok’an atau pamer “si paling punk” wkwk, tapi yang ingin saya ceritakan adalah… setelah kurang lebih 3 tahun jadi “anak punk”, ada satu hal yang saya notice disana. Kelompok punk yang identik dengan kebebasan, ternyata di dalamnya juga ada aturan implisit, terutama tentang penampilan dan gaya hidup. Barangkali kita sudah tau seperti apa penampilan anak punk, ideologi anti kemapanan dan anarki; –Anarki disini bukan berarti kekerasan, onar, perkelahian ataupun perusakan; tapi lebih kepada ideologi yang menginginkan kehidupan masyarakat tanpa negara, ini juga menjelaskan kenapa band-band punk seringkali menuliskan lirik-lirik perlawanan dan protes terhadap kegagalan peran negara dan pemerintah dalam kehidupan bermasyarakat– yang ternyata saya pribadi merasa di dalam sana juga ada “keharusan” dan “kecenderungan” untuk berpenampilan yang sama seperti itu, juga gaya hidup dan pola pikir yang idealis, sebagai identitas mereka. Di titik ini saya merasa “ternyata dalam lingkup punk ini juga tidak benar-benar punya kebebasan, masih ada kotak-kotak didalamnya”. Ternyata bukan disini tempat yang saya dambakan. Saya melanjutkan perjalanan, berharap menemukan kebebasan itu di tempat lain.

Ntah apakah kelak akan bertemu kebebasan itu atau tidak, tapi untuk sekarang, saya sudah cukup merasa mencapai kebebasan versi saya sendiri, meski tentu saja ini bukan The real freedom yang menjadikan saya bisa melakukan apapun tanpa batas, tapi setidaknya sudah cukup untuk diri saya sendiri. Saya mulai tidak memikirkan omongan orang yang tidak berdampak dan tidak membangun hidup saya. Saya mulai memangkas batasan-batasan yang membuat hidup terasa dikotak-kotakkan. Saya pikir, saya bebas berpenampilan seperti apapun yang saya mau, dengan tetap memikirkan konteks dan tempat dimana saya berada. Jadi tidak serta merta saya bisa pakai celana kolor dan kaos tanpa lengan saat ke gereja atau ke kantor. Saya memanjangkan rambut, saya terkadang pakai kutek di kuku tangan, saya pakai skincare, saya rasa hal itu tidak merugikan siapapun, dan bermanfaat bagi saya pribadi, so what then? Saya suka Kpop, pun saya suka punk dan metal. Saya suka drama korea, pun saya suka film horor dan action. Saya suka membahas soal agama dan hal-hal supranatural dengan orang-orang yang berbeda agama, pun saya suka mempelajari astronomi dan sains. Saya suka keluar motoran meski hanya keliling-keliling menyusuri jalan, pun saya suka rebahan di kasur saja. Saya suka membuat video-video bodoh lalu menguploadnya di sosial media, pun saya suka deeptalk dan brainstorming. Saya suka sekali mengenakan pakaian hitam, pun saya tidak anti dengan baju pink. Saya nonton Barbie, pun saya nonton The Godfather dan Kingsman. Kalau orang mulai berpikir saya seperti perempuan, tentu bagi saya itu adalah penilaian yang sangat tergesa-gesa, sebab definisi laki-laki yang cukup mudah adalah saya punya kromosom Y, orientasi seksual saya juga straight dan tertarik pada perempuan saja, sisanya mari mengenal lebih jauh dahulu, sebab jika hanya menilai dari penampilan luar, mungkin anda juga bisa saya nilai sebagai bajingan, pekerja keras, waria, penjahat, pemuka agama, atau lain sebagainya, fair enough? 😀

Di titik ini, saya sudah merasa tidak lagi terusik dengan bagaimana penilaian orang tentang saya, bagaimana mereka mendefinisikan pribadi saya. Bebas, mereka boleh menilai bagaimanapun, pun begitu juga dengan saya, bebas melabeli diri sendiri sebagai apa, dan memperlakukan diri saya sendiri seperti apa. Yang kemudian hal-hal inilah yang saya sebut sebagai “Freedom”.


Posted

in

by

Tags: